Sabtu, 23 Februari 2019

kerangka awal

Manusia dihadirkan ke alam semesta ini bukan karena kehendaknya sendiri. Manusia tidak bisa memilih kapan dan dimana kelahiran dan kematiannya berlangsung. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa manusia mengalami keterlemparan dalam dunia ini.[1] Eksistensi manusia dalam dunia ini bersifat nyata, konkrit dan absolut tetapi kematian juga nyata dan tak terelakkan[2]. Kematian menjadi sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan hal tersebut tidak dapat ditolak oleh manusia. Sebagai manusia, kita tidak bisa menolak kematian yang diyakini dalam agama sebagai bertemunya manusia dengan Tuhan. Kitab Suci agama Katholik menyatakan bahwa melalui kematian, manusia telah menggenapi firman Allah; 

“Hidup kita memang semata-mata adalah karunia Tuhan. Tuhanlah yang membentuk kita manusia dan memberikan nafas kehidupan kepada kita.”[3]
“....sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.”[4]

Dalam kehidupan, manusia dikatakan memiliki hak dan kebebasan yang bisa digunakan. Akan tetapi ternyata manusia tidak memiliki kebebasan sepenuhnya oleh karena kematian yang membatasi manusia. Dengan kata lain, akhir dari hidup manusia adalah kematian. 

Maka dari itu, muncul konsep bunuh diri sebagai salah satu pemenuhan hak manusia untuk memilih mengakhiri hidupnya. Bunuh diri adalah suatu hasil pemikiran sadar manusia untuk memilih kematiannya.[5] Yang pastinya dibutuhkan suatu alasan yang mendalam ketika seseorang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Bunuh diri adalah tindakan manusia yang menyebabkan kematian diri sendiri.[6] Dalam Anatomy of Melancholy, Burton menggambarkan bunuh diri sebagai “jalan untuk diri sendiri” dan “tawaran kekerasan untuk diri sendiri”.[7] Meskipun tidak ada definisi bunuh diri yang bisa diterima secara universal, Chad Varah[8] telah mengumpulkan berbagai definisi dari mereka yang mencoba  untuk mendefinisikan bunuh diri, antara lain;

“Bunuh diri adalah kecenderungan yang disengaja untuk mengambil nyawa seseorang”
-Erwin Ringel (Austria)
“Bunuh diri adalah tindakan sengaja untuk mengambil nyawa seseorang sebagai akibat dari penyakit mental atau sebagai hasil dari berbagai motivasi yang tidak selalu menjadi bagian penyakit mental, tetapi motivasi tersebut melebihi naluri untuk terus hidup.”
-Charles Bagg (Inggris)
  “Keputusan yang  didorong oleh keinginan batin untuk berhenti hidup. Bunuh diri adalah alternatif yang ditentukan untuk menghadapi masalah yang tampaknya terlalu besar untuk ditangani sendirian.”
-Walter Hurst (Selandia Baru)

Sheneidman dalam bukunya[9] mendefinisikan bunuh diri sebagai lawan dari orang yang sehat mental, baginya bunuh diri adalah tindakan sadar dari pemusnahan diri sendiri dan individu tersebut menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik. Dalam bukunya, Sheneidman juga menambahkan bahwa kita perlu mengklarifikasi definisi bunuh diri agar dapat diterapkan pada orang yang membutuhkan.

Sekitar 530 SM, pada masyarakat Yunani klasik, Pythagoras of Samos memperkenalkan teori menggunakan angka untuk memahami manusia dan alam semesta. “Angka adalah segala sesuatu dan segala sesuatu adalah angka” berangkat dari pemahaman tersebut, muncul gagasan bahwa bunuh diri akan menganggu matematika spiritual kehidupan. Baginya keluar dari masalah dengan cara bunuh diri akan menghasilkan ketidakseimbangan di alam semesta tidak seperti kematian lain yang selarasa dengan semesta. Bagi Phytagoras manusia tidak memiliki hak untuk bunuh diri. [10]

Aristoteles[11] (384-222 SM) percaya bahwa bunuh diri adalah tindakan melawan negara, oleh karena itu bunuh diri adalah tindakan yang terlarang. Dalam Etika Nicomachean, Aristoteles mencatat lebih lanjut bahwa;

....mati untuk melarikan diri dari kemiskinan, cinta atau apa pun yang menyakitkan bukan tanda seorang berani melainkan itu adalah tindakan pengecut, dan orang orang seperti itu menanggung kematian bukan dengan mulia tetapi terbang dari apa yang menjadi masalah.”

Selanjutnya, studi modern tentang bunuh diri dimulai pada pergantian abad ke-20, dengan dua tokoh utamanya adalah seorang psikologis, Sigmund Freud (1856-1939) dan seorang sosiologis, Emile Durkheim (1858-1917).[12]

Sigmund Freud[13] menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dorongan atau keinginan untuk menyakiti dirinya sendiri. Dorongan ini sendiri adalah manifestasi dari insting kematian yang disebut thanatos yang dimiliki oleh setiap manusia. Pada pribadi yang sehat secara mental, dorongan ini dapat ditekan dan dimanifestasikan keluar dengan beberapa kali menyerang orang lain. Akan tetapi pada pribadi yang menderita gangguan jiwa, dorongan ini akan sulit ditekan.

Berbeda dengan Freud, Emile Durkheim dalam bukunya berjudul Suicide[14], menyatakan bahwa bunuh diri terjadi karena faktor tingkatan hubungan kedekatan suatu kelompok masyarakat dimana diri individu berada di dalamnya. Maka dari itu, kehidupan sosial masyarakat sangat berpengaruh dalam kehidupan pribadi seorang individu. Berdasarkan hal tersebut, Durkheim berpendapat bahwa lingkungan masyarakat memperngaruhi seorang individu untuk melakukan tindakan bunuh diri.

Sebagai homo socius yang berarti makhluk sosial, apa saja yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari perspektif dan penilaian masyarakat. Maka dari itu, keberadaan hidup satu manusia dengan manusia lainnya pasti saling mempengaruhi satu sama lain. Konsep saling mempengaruhi satu sama lainnya inilah yang membentuk suatu interaksi sosial dalam masyarakat. Ketika masyarakat telah membentuk suatu interaksi yang terus-menerus berjalan maka akan muncul suatu kebiasaan hingga menimbulkan tumbuhnya suatu paham atau suatu kebudayaan dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sosial, cara pandang akan selalu timbul dari individu sesuai dengan fenomena sosial yang mereka alami. Pada akhirnya dapat di ambil suatu kesimpulan, bahwa perspektif masyarakat terhadap fenomena bunuh diri di Indonesia dapat di lihat dari beberapa sudut pandangan baik dari diri individu maupun luar diri individu seperti lingkungan keluarga, kebudayaan, norma, adat, serta agama dan lingkungan pendidikan.




[1] Save M. Dagun,Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka cipta, 1990),81.


[2] Kimmel, D. 1990. Adulthood and Aging. New York: John Willy & Sons, Inc.


[3] Kej 2:7


[4] Kel 3:19


[5] Wicaksono, Wahyu & Meiyanto, Sito. 2003. Ketakutan terhadap Kematian ditinjau dari Kebijaksanaan dan Orientasi Religius pada Periode Remaja Akhir yang berstatus Mahasiswa. Yogyakarta. Jurnal Psikologi 1(57-65)


[6] E. Shneidman, "Suicide," Encyclopedia Britannica, vol. 21 (Chicago, IL: Williams Benton, 1973), pp. 383-385.


[7] . Burton (1577-1640), Anatomy of Melancholy, 6th ed. (London: Hen. Crips & Lodo, 1652).


[8] . Varah (ed.), Answers to Suicide (London: Constable, 1978).


[9] E. Shneidman, Definition of Suicide (New York: Wiley, 1985).


[10] G. Kirk and G. Raven, The Pre-Socractic Philosophers (London: Cambridge at the University Press, 1971), pp. 217-231).


[11] Aristotle, Nicomachean Ethics, in: E. McKean (ed.), The Basic Works of Aristotle (New York: Random House, 1941), p. 977.


[12] Antoon A. Leenaars. 2003. Suicide and Human Rights : A Suicidologist’s Perspective. Health and Human Rights, Vol. 6, No. 2, Violence, Health, and Human Rights, pp. 128-148


[13] Feist and Feist, 2009


[14] Emile Durkheim.1951.  Suicide. London

Senin, 14 Agustus 2017

kita



Ada banyak yang tidak bisa dilihat hanya dengan kedua bola mata. Ada macam macam hal yang tidak bisa di dengar hanya mengandalkan sepasang telinga. Dan ada banyak orang dengan ribuan latar belakang yang bervariasi untuk melakukan suatu tindakan.

Ada banyak yang ingin aku sampaikan, ada beribu kata yang ingin aku ungkapkan. Tentang kepergiaanku. Tentang hilangnya aku. Namun kata tak sampai keluar karna prasangka telah terlanjur lebih dulu merajai.

Mungkin seharusnya, sebelum kamu melangkah lebih jauh lagi coba duduklah, tundukkan kepalamu sejenak dan pejamkan matamu. Pastikan lagi bahwa sebenarnya kamu hanya ingin menyapa atau ingin singgah dalam kurun waktu yang panjang. Dengan begitu, aku pun bisa menentukan langkah dengan tepat. Sekedar menjulurkan kepalaku keluar lewat jendela atau aku harus dengan penuh perjuangan membukakan mu pagar rumahku.

Seharusnya, sebelum kalimat manis itu meluncur keluar dari lidahmu, pastikan bahwa itu bukan cuma penasaran belaka. Karena hal itu hanya akan berujung pada saling mencaci satu sama lain. Hingga akhirnya tak pernah ada lagi kata sapa akibat kegagalan yang menanggapi rasa.

Iya, kamu sudah bilang maaf.
Kata sederhana yang selalu menjadi juara sepanjang segala masa.
Mudah diucapkan, dan mudah pula dilupakan. Kemudian, sang waktu lah yang bekerja. Mengganti setiap luka dengan lupa. Perlahan. Pun. Hilang. Berganti. Dan pergi.

Sudah ya, jangan mencariku suatu hari nanti. Biarkan hari ini, esok dan esoknya lagi aku yang mencarimu saja. Sampai aku mulai terbiasa akan hilangnya kamu.
Karena kita, adalah satu keraguan yang berjalan bersama untuk memutuskan saling pergi menjauh

Kamis, 13 April 2017

kamu itu seperti hujan






Kamu itu hujan
Aku tau kamu akan datang
Kamu itu hujan
Aku menunggumu datang walau bersama gemuruh pekat
Kamu itu hujan
Hadirmu perlahan namun aku tau kamu akan kembali pergi dengan cepat
Kamu itu hujan
Membuatku sakit namun candu untukku
Kamu itu hujan
Banyak yg membencimu tapi aku tidak peduli
Walau kamu datang bersama gemuruh serta petir
Dan walau kamu hanya hadir sesaat dalam rupa rinai kecil
Kamu itu hujan
Aku menikmati saat saat aku menunggumu
Setidaknya sampai matahariku datang

Sabtu, 04 Maret 2017

hatiku telah hilang

aku sudah jatuh hati
pada suatu masa dimana aku bisa bercanda dan membagi kisah hidupku bersama mu di suatu tempat yang suram

aku jatuh hati
pada suatu momentum yang tidak akan pernah bisa kuulangi dimana pun dan kapan pun

hatiku sudah kutinggalkan
di suatu dimensi ruang yang jauh dari kehidupanku sekarang

hatiku hilang, sayang

di sebuah tempat dimana aku bisa selalu merasa kembali pulang
dengan banyak pundak yang siap menjadi sandaran kepalaku yang tidak sanggup terlalu lama mendongak
dengan ribuan jari yang sanggup mengusap air yang menetes di pelupuk mataku
dengan semua orang yang aku sebut dengan keluarga.

yang kini

aku hampir sudah tidak mengenal mereka

bukan

bukan aku tidak terima

hanya saja

aku merindukan mereka
mereka yang tanpa topeng tebal
mereka yang tanpa  penutup wajah
serta mereka yang selalu aku lihat pertama kali saat aku bangun




spesial untuk : Rumah lamaku, SMA Van Lith Muntilan

#3

Rinai-rinai hujan yang harus kembali jatuh pun mengingatkan ku pada semua hal yang sudah-sudah. Pada tempat yang tak bisa ku singgahi. Pada langkah yang tak mungkin untuk ku dekati. Juga pada mata indah yang tidak bisa ku wakilkan dengan kata apa pun.

Dulu, aku berharap sejauh mana kita mengarungi waktu, pasti akan bermuara pada satu temu. Disatukan oleh tujuan yang akan dipermudah lewat satu jalan yang sama. Tetapi kamu, memutar arah dan pergi entah kemana.

Mungkin memang percayaku terlalu pagi. Sedang kecewa ini setajam belati yang membuat hati ini kembali menjadi abu. Aku telah kehilangan tiap jengkal kebersamaan kita yang tadinya sedekat nadi.

Perlahan, sang waktu mulai menunjukkan kuasanya. Bertahan sudah jelas bukan pilihan. Aku memang tidak bisa memutar waktu sebelum perasaan ini kau buang jauh ke pematang luas. 

Sekarang aku dan kamu hanya saling mengisi jalan dengan langkah dan tujuan yang berbeda. Dengan kenyataan yang kita pahami bersama. Juga dengan janji-janjimu yang sudah menjadi asap hilang entah kemana

Memang percaya bisa terlalu pagi, hingga kecewa bagai senapan dan rindu bagai cabikan. Meskipun begitu, langit tak pernah tidak peduli perihal tempat mana yg akan kau sambangi. Namun selama langit masih membiru dan senja masih merona. Hati, meski telah mengucur  darah, tetap ada dan menunggu senapan lain untuk menembak. Meski kadang percaya terlalu pagi  hingga senja nanti sedih menanti.