Manusia
dihadirkan ke alam semesta ini bukan karena kehendaknya sendiri. Manusia tidak
bisa memilih kapan dan dimana kelahiran dan kematiannya berlangsung. Oleh
karena itu, bisa dikatakan bahwa manusia mengalami keterlemparan dalam dunia
ini.[1]
Eksistensi manusia dalam dunia ini bersifat nyata, konkrit dan absolut tetapi
kematian juga nyata dan tak terelakkan[2].
Kematian menjadi sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan hal tersebut tidak
dapat ditolak oleh manusia. Sebagai manusia, kita tidak bisa menolak kematian
yang diyakini dalam agama sebagai bertemunya manusia dengan Tuhan. Kitab Suci
agama Katholik menyatakan bahwa melalui kematian, manusia telah menggenapi
firman Allah;
“Hidup kita
memang semata-mata adalah karunia Tuhan. Tuhanlah yang membentuk kita manusia
dan memberikan nafas kehidupan kepada kita.”[3]
“....sebab
engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.”[4]
Dalam
kehidupan, manusia dikatakan memiliki hak dan kebebasan yang bisa digunakan.
Akan tetapi ternyata manusia tidak memiliki kebebasan sepenuhnya oleh karena
kematian yang membatasi manusia. Dengan kata lain, akhir dari hidup manusia
adalah kematian.
Maka
dari itu, muncul konsep bunuh diri sebagai salah satu pemenuhan hak manusia
untuk memilih mengakhiri hidupnya. Bunuh diri adalah suatu hasil pemikiran
sadar manusia untuk memilih kematiannya.[5]
Yang pastinya dibutuhkan suatu alasan yang mendalam ketika seseorang memutuskan
untuk mengakhiri hidupnya.
Bunuh
diri adalah tindakan manusia yang menyebabkan kematian diri sendiri.[6]
Dalam Anatomy of Melancholy, Burton menggambarkan bunuh diri sebagai “jalan
untuk diri sendiri” dan “tawaran kekerasan untuk diri sendiri”.[7]
Meskipun tidak ada definisi bunuh diri yang bisa diterima secara universal,
Chad Varah[8]
telah mengumpulkan berbagai definisi dari mereka yang mencoba untuk mendefinisikan bunuh diri, antara lain;
“Bunuh diri adalah
kecenderungan yang disengaja untuk mengambil nyawa seseorang”
-Erwin
Ringel (Austria)
“Bunuh diri adalah tindakan
sengaja untuk mengambil nyawa seseorang sebagai akibat dari penyakit mental
atau sebagai hasil dari berbagai motivasi yang tidak selalu menjadi bagian
penyakit mental, tetapi motivasi tersebut melebihi naluri untuk terus hidup.”
-Charles
Bagg (Inggris)
“Keputusan yang didorong oleh keinginan batin untuk berhenti
hidup. Bunuh diri adalah alternatif yang ditentukan untuk menghadapi masalah
yang tampaknya terlalu besar untuk ditangani sendirian.”
-Walter
Hurst (Selandia Baru)
Sheneidman
dalam bukunya[9]
mendefinisikan bunuh diri sebagai lawan dari orang yang sehat mental, baginya
bunuh diri adalah tindakan sadar dari pemusnahan diri sendiri dan individu
tersebut menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik. Dalam bukunya,
Sheneidman juga menambahkan bahwa kita perlu mengklarifikasi definisi bunuh
diri agar dapat diterapkan pada orang yang membutuhkan.
Sekitar
530 SM, pada masyarakat Yunani klasik, Pythagoras of Samos memperkenalkan teori
menggunakan angka untuk memahami manusia dan alam semesta. “Angka adalah segala
sesuatu dan segala sesuatu adalah angka” berangkat dari pemahaman tersebut,
muncul gagasan bahwa bunuh diri akan menganggu matematika spiritual kehidupan.
Baginya keluar dari masalah dengan cara bunuh diri akan menghasilkan
ketidakseimbangan di alam semesta tidak seperti kematian lain yang selarasa
dengan semesta. Bagi Phytagoras manusia tidak memiliki hak untuk bunuh diri. [10]
Aristoteles[11]
(384-222 SM) percaya bahwa bunuh diri adalah tindakan melawan negara, oleh
karena itu bunuh diri adalah tindakan yang terlarang. Dalam Etika Nicomachean,
Aristoteles mencatat lebih lanjut bahwa;
“....mati untuk melarikan diri dari
kemiskinan, cinta atau apa pun yang menyakitkan bukan tanda seorang berani
melainkan itu adalah tindakan pengecut, dan orang orang seperti itu menanggung
kematian bukan dengan mulia tetapi terbang dari apa yang menjadi masalah.”
Selanjutnya,
studi modern tentang bunuh diri dimulai pada pergantian abad ke-20, dengan dua
tokoh utamanya adalah seorang psikologis, Sigmund Freud (1856-1939) dan seorang
sosiologis, Emile Durkheim (1858-1917).[12]
Sigmund
Freud[13]
menyatakan bahwa setiap manusia memiliki dorongan atau keinginan untuk
menyakiti dirinya sendiri. Dorongan ini sendiri adalah manifestasi dari insting
kematian yang disebut thanatos yang dimiliki oleh setiap manusia. Pada pribadi
yang sehat secara mental, dorongan ini dapat ditekan dan dimanifestasikan
keluar dengan beberapa kali menyerang orang lain. Akan tetapi pada pribadi yang
menderita gangguan jiwa, dorongan ini akan sulit ditekan.
Berbeda
dengan Freud, Emile Durkheim dalam bukunya berjudul Suicide[14],
menyatakan bahwa bunuh diri terjadi karena faktor tingkatan hubungan kedekatan
suatu kelompok masyarakat dimana diri individu berada di dalamnya. Maka dari
itu, kehidupan sosial masyarakat sangat berpengaruh dalam kehidupan pribadi
seorang individu. Berdasarkan hal tersebut, Durkheim berpendapat bahwa
lingkungan masyarakat memperngaruhi seorang individu untuk melakukan tindakan
bunuh diri.
Sebagai
homo socius yang berarti makhluk sosial, apa saja yang dilakukan manusia tidak
bisa lepas dari perspektif dan penilaian masyarakat. Maka dari itu, keberadaan
hidup satu manusia dengan manusia lainnya pasti saling mempengaruhi satu sama
lain. Konsep saling mempengaruhi satu sama lainnya inilah yang membentuk suatu
interaksi sosial dalam masyarakat. Ketika masyarakat telah membentuk suatu
interaksi yang terus-menerus berjalan maka akan muncul suatu kebiasaan hingga
menimbulkan tumbuhnya suatu paham atau suatu kebudayaan dalam masyarakat.
Dalam
kehidupan sosial, cara pandang akan selalu timbul dari individu sesuai dengan
fenomena sosial yang mereka alami. Pada akhirnya dapat di ambil suatu
kesimpulan, bahwa perspektif masyarakat terhadap fenomena bunuh diri di
Indonesia dapat di lihat dari beberapa sudut pandangan baik dari diri individu
maupun luar diri individu seperti lingkungan keluarga, kebudayaan, norma, adat,
serta agama dan lingkungan pendidikan.
[1] Save M. Dagun,Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka cipta,
1990),81.
[2] Kimmel, D. 1990. Adulthood and Aging. New York: John Willy &
Sons, Inc.
[3] Kej 2:7
[4] Kel 3:19
[5] Wicaksono, Wahyu &
Meiyanto, Sito. 2003. Ketakutan terhadap Kematian ditinjau dari Kebijaksanaan
dan Orientasi Religius pada Periode Remaja Akhir yang berstatus Mahasiswa.
Yogyakarta. Jurnal Psikologi 1(57-65)
[6] E. Shneidman, "Suicide," Encyclopedia Britannica, vol. 21
(Chicago, IL: Williams Benton, 1973), pp. 383-385.
[7] . Burton (1577-1640), Anatomy of Melancholy, 6th ed. (London: Hen.
Crips & Lodo, 1652).
[8] . Varah (ed.), Answers to Suicide (London: Constable, 1978).
[9] E. Shneidman, Definition of Suicide (New York: Wiley, 1985).
[10] G. Kirk and G. Raven, The Pre-Socractic Philosophers (London:
Cambridge at the University Press, 1971), pp. 217-231).
[11] Aristotle, Nicomachean Ethics, in: E. McKean (ed.), The Basic Works
of Aristotle (New York: Random House, 1941), p. 977.
[12] Antoon A. Leenaars. 2003. Suicide and Human Rights : A
Suicidologist’s Perspective. Health and Human Rights, Vol. 6, No. 2, Violence, Health, and
Human Rights, pp. 128-148
[13] Feist and Feist, 2009
[14] Emile Durkheim.1951. Suicide. London
[1] Save M. Dagun,Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka cipta,
1990),81.
[2] Kimmel, D. 1990. Adulthood and Aging. New York: John Willy &
Sons, Inc.
[3] Kej 2:7
[4] Kel 3:19
[5] Wicaksono, Wahyu &
Meiyanto, Sito. 2003. Ketakutan terhadap Kematian ditinjau dari Kebijaksanaan
dan Orientasi Religius pada Periode Remaja Akhir yang berstatus Mahasiswa.
Yogyakarta. Jurnal Psikologi 1(57-65)
[6] E. Shneidman, "Suicide," Encyclopedia Britannica, vol. 21
(Chicago, IL: Williams Benton, 1973), pp. 383-385.
[7] . Burton (1577-1640), Anatomy of Melancholy, 6th ed. (London: Hen.
Crips & Lodo, 1652).
[8] . Varah (ed.), Answers to Suicide (London: Constable, 1978).
[9] E. Shneidman, Definition of Suicide (New York: Wiley, 1985).
[10] G. Kirk and G. Raven, The Pre-Socractic Philosophers (London:
Cambridge at the University Press, 1971), pp. 217-231).
[11] Aristotle, Nicomachean Ethics, in: E. McKean (ed.), The Basic Works
of Aristotle (New York: Random House, 1941), p. 977.
[12] Antoon A. Leenaars. 2003. Suicide and Human Rights : A
Suicidologist’s Perspective. Health and Human Rights, Vol. 6, No. 2, Violence, Health, and
Human Rights, pp. 128-148
[13] Feist and Feist, 2009
[14] Emile Durkheim.1951. Suicide. London